Foto : Murad Anak Rimba Jambi |
Lampukuning.Com/Artikel : Struktur sosial pada komunitas Orang Rimba atau Suku Anak Dalam, Bukit 12, Jambi, Tumenggung bukan saja seorang pemimpin ditengah masyarakatnya, tapi juga menjadi aktor penting perubahan yang terkait dengan masyarakat dan wilayah, penentu kebijakan baik dalam memastikan pelaksanaan aturan adat (internal), maupun hubungan dengan para pihak diluarnya (ekternal). Secara struktural dan fungsi, Tumenggung di bantu oleh seorang Wakil, Depati, Mangku, Menti, Anak dalam, Debalang Bathin, Tengganai dan Kepalo Adat.
Saat ini, rasanya hanya di wilayah Bukit 12 kita masih menemukan struktur utuh sosial Orang Rimba atau Suku Anak Dalam seperti diatas. Di wilayah yang lain struktur memang masih ada tapi rata-rata tidak seutuh di Bukit 12 lagi, antara lain penyesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan yang ada di wilayah tersebut, atau karena yang hal lain.
Tahun ajaran baru yang bertepatan dengan bulan ramadhan ini, saya coba berbagi kisah tentang seorang anak yang menjadi motivator keluarga dan komunitasnya dalam pendidikan dan agama. Pergulatan lahir dan batin seorang Tumenggung yang berani mengambil sikap dengan segala konsekuensi. Menjadi Islam, menetap, berpendidikan, bukan berarti merusak tatanan tradisi leluhur, justru sebaliknya, harus menguatkan masyarakat, menyempurnakan kebutuhan lahir dan batin.
Murad, Anak seorang Tumenggung Rimba Kejasung Besar, Bukit 12, bukancuma terbukti mampu bersaing di tengah-tengah masyarakat umum atau desa, tapi prestasi yang sudah ia raih tetap membuatnya rendah hati, terus belajar dan tak tak kenal putus asa.
Berikut sekelumit kisahnya!
Sebelum masuk sekolah dasar,Murad di titipkan kepadaPak Qohari yang tinggal di Desa Rawa Mekar, Kec. Marosebo Ulu, Kab. Batang Hari, Jambi, untuk belajar mengaji.Murad tidak sendirian, dia ditemani oleh empat sodaranya yang lain, bersama-sama tinggal dirumah pak Qohari di desa, selama di desa, Murad dan adik-adiknya dijaga oleh abang kandungnya yang biasa dipanggil Dedi, proses iniberjalan sekitar 2 tahun.
Orang Tua Murad bernama Jelitay, adalah seorang Tumenggung Orang Rimba atau Suku Anak Dalam wilayah Kejasung Besar, Bukit 12. Sedang Pak Qohari bagi masyarakat desa Rawa Mekar lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pak Ustad, selain menjadi guru mengaji, Pak Qoharijuga Imam besar Masjid yang ada di desanya, kerap menjadi juri Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) di tingkat kecamatan dalam Kabupaten Batang Hari.
Setelah menitipkan anaknya pada pak Ustad Qohari di desa, Tumenggung bersama istri kembali ke kampung halamannya di Kejasung Besar, Bukit 12. Kejasung Besar secara administrasi adalah daerah perbatasan tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi, yaitu Sarolangun, Tebo dan Batang Hari. Di wilayah ini mereka sudah turun temurun hidup dan berkembang menjalani tradisi leluhur, melalui berhuma, ladang, berburu, memanfatkan hasil hutan non kayu untuk kebutuhan pangan dan ekonomi.
Waktu terus berjalan, setahun kemudian Tumenggung menjenguk anak-anaknya untuk melihat perkembangan mereka,“rugi Gung, kalo pendidikan anak-anak tidak dilanjutkan, semuonyobalikpado tumenggung, yang penting ngaji jangan dilupo” Begitulah kata pak Qohari sebut Tumenggung kala itu.
Tumenggung akhirnya mendaftarkan Murad ke SDN No.195/Idi Rawa Mekar yang resmi menjadi desa pada bulan ini, Beliau pun rela menunggu satu tahunlagi untuk melihat perkembangan Murad di sekolah dasar dan hasilnyaternyata mengembirakan, Murad berhasil mendapat juara umum di kelasnya.
Sebelumnya atau sekitar tahun 2009-2010, Dedi, Nganing, Muraddan Laru, di islamkan melalui sunat bareng di desa,disusul oleh Qodrat karena permintaan orang tuanya,Maris, setahun kemudian.
Melihat anak-anaknya sudah beragama islam, tinggal menetap di desa, punya prestasi dalam pendidikan dan agama,Tumenggung kemudian berembuk dengan sang istri.
“Jika tidak satu iman dengan anak bagaimana nanti kita mati? Mereka tidak bisa mbantu, pemakan dan peminum kita beda” ujarTumenggung.“Menjadi islam bukan pekaro mudah, harus betul-betul yakin dari hati dulu, bukan cuma makan dan minum bae yang harus dirubah, prilaku jugo, yang harus di islamkan terlebih dulu adolah hati,baru badan diri”.
“Awalnyo kami ragu kerenodak dikit orang rimbo (suku anak dalam) yang meluk islam tapi balik ke rimbo lagi, orang rimbo pada saat bujang sebenarnyo banyak yang meluk islam, tapi ketikokawin (ber-istri) dikampung diobalik pado keyakinan lamo, belum kuat pado hati” Tumenggung menjelaskan.
Meyakinkan keragu-raguanistri berlangsung selama bertahun-tahun,Beliau juga harus membagi konsentrasi kepada empat anaknya yang sudahislam dan belajar di desa. Waktu dan energi yang dikeluarkan cukup besar, karenadarikejasung besar menuju desa harus ditempuh berjalan kaki selama satu hari, kenyataan ini mau tak mau harus dilakukan bertahun-tahun.
Seperti Tuhan sudah berkehendak, ketika naik ke kelas dua, Murad kembali berhasil mendapat juara di kelasnya, sedangkan Laru-adiknyaberhasil pula mendapatkan penghargaan di Madrasah. Situasi ini bukan cuma penghilang lelah secarapsikologisTumenggungdan sitri, tapi menjadi pompa yang kuatbagihati merekauntuk memeluk islam dengan segala konsekuensi.
“Alhamdulilah, sejak tahun 2010 sampai dengan kini, sayo, bini dan anak-anakmelukislam dan tinggal di desa,dak teraso tahun iko Murad sudah naik kelas limo, dan dapat juara umum lagi, alhamdulilah, dari kelas satu sampai kini dio juaro terus, ” kata tumenggung.Harapannya terhadapMurad, Laru dan anak-anak yang laintidaklah banyak, semoga menjadi ujung tombak bagimasyarakat dalampendidikandan agama. Menjadi Islam, menetap, berpendidikan, bukan berarti merusak tradisi adat leluhur, harus sebaliknya, untuk menguatkan masyarakat, menyempurnakan kebutuhan lahir batin, diri sendiri dan masyarakat.
Penulis : Willy Marlupi
Publisher : Wawan